Senin, 27 Desember 2010

Hukum Pengobatan dengan Cacing


Tanya:
Bismillaah.
Assalaamu’alaykum Warohmatulloh. Bagaimana hukum budidaya cacing untuk dijual dan dimanfaatkan untk pakan ternak,pupuk,dll?
Jazaakumullohukhoir
 
 

Jawab:
...Waalaikumussalam warahmatullah.
Pendapat yang kami pegang dalam masalah ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- dimana beliau berkata, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: cicak (masuk juga tokek), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk, dan yang sejenis dengan mereka. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Diharamkan untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian sembelih”.
 
Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara syar’i kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih (misalnya ikan dan belalang maka dia boleh dimakan tanpa penyembelihan, pent.)”. (Lihat Al-Muhalla: 7/405)
 
 
Karenanya tatkala cacing bukanlah hewan yang bisa disembelih maka dia termasuk ke dalam jenis bangkai yang haram untuk dimakan. Sementara segala sesuatu yang haram untuk dimakan maka dia juga haram untuk diperjualbelikan. Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad: 1/247, 322 dan Abu Dawud no. 3488)
Maksud ‘diharamkan harganya’ adalah termasuk di dalamnya larangan memperjualbelikannya, menyewakannya, dan semua perkara yang menjadikan dia mempunyai harga. Karenanya jual beli cacing termasuk perkara yang tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bishshawab.

http://al-atsariyyah.com/?p=1544
 

Minggu, 26 Desember 2010

Bolehkah Percaya Hari Sial ?

Tanya:
Apakah dibolehkan bagi seseorang untuk membenarkan atau menganggap sial angka tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya?




Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab:
Tidak boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi, yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ
Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوِ اجْتَمَعَتِ اْلأُمَّةُ عَلَى أَنْ يَّنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَّضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
Seandainya umat berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semuanya berkumpul untuk memudaratkanmu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudaratan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran-lembaran (catatan takdir)1.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial dengan sesuatu), tidak ada kesialan dengan keberadaan burung hantu dan tidak ada pula kesialan bulan Shafar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu riwayat:
لاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ
Tidak ada nau`2 dan tidak ada ghul3.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: (وَلاَ صَفَرَ) menolak keyakinan orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat. Demikian pula hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal, maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?
Hal ini seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup4). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua; waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia termasuk jenis sihir.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa yang dinyatakan dalam ayat berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (Al-Fatihah: 5)
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
Maka beribadahlah engkau kepada-Nya dan bertawakallah.” (Hud: 123)
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيْبُ
Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya aku akan kembali.” (Asy-Syura: 10)
Jadilah hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya. Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya. Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat. Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa yang telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Footnote:
1. HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 5302, pent.
2. Nau` adalah bintang. Orang-orang jahiliyyah menyandarkan kesialan dan keberuntungan yang mereka peroleh dengan bintang. Sebagian bintang menurut mereka sial sehingga mereka katakan: Ini bintang nahas tidak ada kebaikan padanya. Sebagian lain dari bintang, mereka anggap membawa keberuntungan sehingga bila mereka dicurahi hujan, mereka berkata: “Kita diberi hujan oleh bintang ini”. Mereka tidak mengatakan: “Kita diberi hujan dengan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Al-Qaulul Mufid `ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin , 1/568). -pent.
3. Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan orang yang sedang berjalan di padang pasir atau lembah. Yang ditolak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits adalah pengaruh ghul ini, bukan keberadaannya. Setan yang suka mengganggu manusia seperti ghul ini memang ada, namun bila kuat tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menghiraukan keberadaannya, setan ini tidak dapat memudaratkan dan menghalanginya menuju arah yang hendak ditujunya. (Al-Qaulul Mufid, 1/569) -pent.
4. Mereka adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair ibnul Awwam, Sa`ad bin Abi Waqqash, Sa`id bin Zaid, Abdurrahman bin `Auf, dan Abu `Ubaidah ibnul Jarrah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka semuanya.

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007, Kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 87-89. Dicopy dari: http://www.asysyariah.com dikutip lagi dari Akhwat.wb.id. Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm Alusy Syaikh rahimahullâh Judul: Anggapan Sial terhadap Angka, Hari /Bulan Tertentu

Hukum Gerebek dan Menghancurkan Tempat Maksiat

Apa Hukum Penggerebekan dan Penghancuran Tempat Maksiat?

Oleh Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili
Pertanyaan:
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili ditanya: Apakah kami diperbolehkan merubah kemungkaran dengan kekuatan tangan, seperti menghancurkan lokasi-lokasi pelacuran dan mabuk-mabukan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di Indonesia?




Jawaban:
Ini tidak boleh! Bahkan ini termasuk kemungkaran tersendiri. Merubah kemungkaran dengan kekuatan tangan merupakan hak Waliyul Amr (umara). Tindakan melampaui batas yang dilakukan oleh sebagian orang terhadap tempat-tempat maksiat, (yakni) dengan menghancurkan dan membakarnya, atau juga tindakan melampaui batas seseorang dengan melakukan pemukulan, maka ini merupakan kemungkaran tersendiri, dan tidak boleh dilakukan.
Para ulama telah menyebutkan masalah mengingkari dengan kekuatan tangan, merupakan hak penguasa. Yaitu orang-orang yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya.”
Makna kemampuan yang disebutkan dalam hadits ini, bukan seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, yaitu kemampuan fisik untuk memukul atau membunuh. Kalau demikian yang dimaksudkan, maka kita semua dapat memukul. Namun, apakah benar yang dimaksud seperti ini?
Kemampuan yang dimaksudkan adalah kemampuan syar’iyah. Yang berhak melakukannya ialah orang yang memiliki kemampuan syar’iyah. Yaitu, pengingkaran terhadap mereka tidak akan menimbulkan kemungkaran lain.
Dengan demikian, perbuatan melampaui batas yang dilakukan oleh sebagian orang, baik dengan memukul atau menghancurkan tempat-tempat maksiat yang dilakukan seperti pada sekarang ini merupakan pelanggaranOrang yang melihat kemungkaran atau melihat pelaku kemungkaran, hendaknya melaporkannya kepada polisi, sebagai pihak yang bertanggungjawab, atau para ulama atau para da’i, untuk selanjutnya diserahkan kepada yang memiliki wewenang. Kemudian akan diselidiki, sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat.
(Soal-jawab Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 27 Jumadil Akhir 1427H)
***
Sumber: Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016 – website: www.bukhari.or.id

Kamis, 23 Desember 2010

Shalat di Kendaraan

Shalat di Kendaraan



Tanya:
Assalamualaikum Wr.wb.
Saya kerja di Jl. Rs. Fatmawati Jaksel sedangkan rumah di Cakung Jaktim.
Pulang dari kantor naik angkutan (lebak bulus – Bekasi Timur-Cakung) sampai dirumah sekitar waktu shalat Isya, kadang lewat waktu Isya dan kadang sebelum Isya (jika bis tidak terlalu lama ngetem),
Saya biasanya shalat Magrib sambil duduk di angkutan kota dengan bertayamum, jika seandainya saya sampai dirumah 10 menit sebelum waktu Isya apakah saya harus ulangi lagi shalat Magrib dirumah?
“Indra Hadi” <indrahadi2000@yahoo.com>
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Sebelumnya kami katakan: Jika memungkinkan untuk antum turun dan mengerjakan shalat maghrib di masjid maka itu yang paling utama, karena dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.
Tapi jika tidak memungkinkan untuk turun -misalnya angkutannya lewat jalan tol atau faktor lainnya-, maka apa yang antum lakukan itu insya Allah sudah tepat yaitu shalat di dalam kendaraan sambil menghadap kiblat (jika memungkinkan) dan dalam keadaan duduk, dimana ruku’ dan sujudnya hanya dengan menundukkan kepala, sujud lebih rendah daripada ruku’.
Kemudian, jika antum sudah shalat maghrib di kendaraan dan ternyata bisa tiba di rumah sebelum isya maka shalatnya tidak perlu diulang insya Allah, karena antum sudah mengerjakannya beserta semua rukun dan wajib shalat (walaupun ada yang tidak sempurna), dan tidak ada dalil yang memerintahkan untuk mengulanginya.
Satu hal yang butuh diingatkan, sebaiknya antum berwudhu terlebih dahulu sebelum naik kendaraan baik di tempat kerja sebelum pulang atau yang lainnya, agar antum tidak bertayammum di dalam angkutan. Karena tayammum hanya gugur ketika tidak ada air atau antum tidak bisa membeli air, sementara mungkin antum bawa air minum atau ada pedagang kaki lima yang menjual air minum di tempat ngetem. Kalau antum tidak berwudhu terlebih dahulu maka akan merepotkan antum karena harus membeli air untuk berwudhu, terlebih lagi kalau harus berwudhu di dalam angkutan. Ala kulli hal, tidak boleh bertayammum ketika masih ada air.
Jika antum sudah berwudhu sebelum naik tapi tiba-tiba di tengah perjalanan (ketika mobil sudah berjalan) wudhu antum batal dan antum tidak mempunyai air, maka kembali ke masalah asal: Jika antum bisa turun untuk berwudhu maka itu yang ditempuh dan jika tidak maka silakan shalat dengan tayammum di atas mobil, insya Allah itu tidak mengapa. Wallahu Ta’ala a’lam

http://al-atsariyyah.com/shalat-di-kendaraan.html

Apa Hukum Oral ?

Tanya:
Assallamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Apakah hukumnya jika suami atau istri terminum sperma salah satunya?
ailia
barlen.alindragiri@gmail.com
Jawab:
Kalau memang hal itu terjadi secara tidak disengaja, maka insya Allah tidak mengapa. “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami karena kami lupa atau tersalah (tidak sengaja).”
Kalau hal itu disengaja dan terjadinya melalui oral sex (istri menghisap penis suaminya), maka berikut jawabannya yang kami kutip dari http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=276.

Apa hukum oral seks?
Jawab:
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi hafizhohullah menjawab sebagai berikut,
“Adapun isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral sex), maka ini adalah haram, tidak dibolehkan. Karena ia (kemaluan suami) dapat memencar. Kalau memencar maka akan keluar darinya air madzy yang dia najis menurut kesepakatan (ulama’). Apabila (air madzy itu) masuk ke dalam mulutnya lalu ke perutnya maka boleh jadi akan menyebabkan penyakit baginya.
Dan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah telah berfatwa tentang haramnya hal tersebut –sebagaimana yang saya dengarkan langsung dari beliau-.”
Dan dalam kitab Masa`il Nisa’iyyah Mukhtarah Min Al-`Allamah Al-Albany karya Ummu Ayyub Nurah bintu Hasan Ghawi hal. 197 (cet. Majalisul Huda AI¬Jaza’ir), Muhadits dan Mujaddid zaman ini, Asy-Syaikh AI-`Allamah Muhammad Nashiruddin AI-Albany rahimahullah ditanya sebagai berikut:
“Apakah boleh seorang perempuan mencumbu batang kemaluan (penis) suaminya dengan mulutnya, dan seorang lelaki sebaliknya?”
Beliau menjawab:
“Ini adalah perbuatan sebagian binatang, seperti anjing. Dan kita punya dasar umum bahwa dalam banyak hadits, Ar-Rasul melarang untuk tasyabbuh (menyerupai) hewan-hewan, seperti larangan beliau turun (sujud) seperti turunnya onta, dan menoleh seperti
tolehan srigala dan mematuk seperti patukan burung gagak. Dan telah dimaklumi pula bahwa nabi Shallallahu `alahi wa sallam telah melarang untuk tasyabbuh dengan orang kafir, maka diambil juga dari makna larangan tersebut pelarangan tasyabbuh dengan hewan-hewan -sebagai penguat yang telah lalu-, apalagi hewan yang telah dlketahui kejelekan tabiatnya. Maka seharusnya seorang muslim –dan keadaannya seperti ini- merasa tinggi untuk menyerupai hewan-hewan.”
Dan salah seorang ulama besar kota Madinah, Asy-Syaikh AI-`Allamah `Ubaid bin ‘Abdillah bin Sulaiman AI-Jabiry hafizhahullah dalam sebuah rekaman, beliau ditanya sebagai berikut,
“Apa hukum oral seks’?” Beliau menjawab:
“Ini adalah haram, karena is termasuk tasyabbuh dengan hewan-hewan. Namun banyak di kalangan kaum muslimin yang tertimpa oleh perkara-perkara yang rendah lagi ganjil menurut syari’at, akal dan fitrah seperti ini. Hal tersebut karena ia menghabiskan waktunya untuk mengikuti rangkaian film-film porno melalui video atau televisi yang rusak. Seorang lelaki muslim berkewajiban untuk menghormati istrinya dan jangan ia berhubungan dengannya kecuali sesuai dengan perintah Allah. Kalau ia berhubungan dengannya selain dari tempat yang Allah halalkan baginya maka tergolong melampaui batas dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alahi wa sallam.”
Dikutip dari majalah An-Nashihah Volume 10 1427H/2006M

Apa Hukum Makan Kepiting?

Tanya : Assalamu'âalaykum. Ana ingin bertanya apa hukum makan kepiting? (Abu Harits – taufik.harisxx@gmail.com)



Jawab : Karena seringnya masalah ini dipertanyakan, maka mungkin ada baiknya jika kami menjawab dengan jawaban yang lebih umum, maka kami katakan:
Hewan air terbagi menjadi 2:
a. Hewan yang murni hidup di air, yang jika dia keluar darinya, maka dia akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
b. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting .
Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318) dan Al-Majmu’ (9/31-32)
Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (QS. Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
a. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
b. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Mereka berdalilkan dengan keumumam ayat dan hadits di atas. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya. Yaitu:
Hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:

“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod, kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Sisi pendalilannya, bahwa semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)
Wallahu A’lam bis Showab.
(Dijawab oleh Ust. Hammad Abu Mu’awiyah)
NB : Shurod adalah sejenis burung yang hidup di jazirah arab

http://almakassari.com/tanya-jawab/hukum-makan-kepiting-dan-yang-hidup-di-2-alam.html

Tanya Jawab Aqidah Muslim

AQIDAH SEORANG MUSLIM




oleh : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu -semoga Allah ta'aalaa merahmati beliau-

Soal 1: Untuk apa Alloh menciptakan kita?
Jawaban: Dia menciptakan kita agar beribadah kepadaNya serta tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun.
Dalil dari AlQur’an:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (الذريات:56)
Dan tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepadaKu.
Dalil dari sunnah:
)حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئاً ( متفق عليه
Hak Alloh atas hambaNya bahwa mereka menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun
Soal 2: Bagaimana kita menyembah Alloh ta’ala?
Jawaban: Sebagaimana Alloh dan RosulNya perintahkan.
Dalil dari AlQur’an:
 َمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ(البينة: من الآية5)
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali agar beribadah kepada Alloh dengan hanya mengikhlaskan diin untukNya.
Dalil dari sunnah:
[ من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردّ ] رواه مسلم
Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada dalam perkara kami maka amalan itu tertolak.
Soal 3: Apakah kita menyembah kepada Alloh dengan perasaan takut dan harapan?
Jawaban: Ya! Kita menyembahnya Alloh dengan rasa takut dan harapan
Dalil dari AlQur’an:
وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً(الأعراف: من الآية56)
Dan serulah Dia oleh kalian dalam kondisi takut[dari neraka] dan harap [kepada sorga]
Dalil dari sunnah:
[أسأل الله الجنة وأعوذ به من النار] صحيح رواه أبو داود
Saya mohon Alloh sorga dan berlindung denganNya dari neraka.
Soal 4: Apa yang dimaksudkan Ihsan dalam ibadah?
Jawaban: merasa diawasi oleh Alloh saja, yang Dia selalu melihat kita.
Dalil dari AlQur’an:
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً(النساء: من الآية1)
Sesungguhnya Alloh atas kalian selalu mengawasi.
الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (الشعراء:218)
Yang melihatmu ketika engkau berdiri[untuk sholat]
Dalil dari sunnah:
[ الإحسان أن تعبدوا الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك] رواه مسلم.
Ihsan adalah engkau menyembah Alloh seakan-akan engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.
Soal 5: Untuk apa Alloh mengutus para rasul?
Jawaban:Untuk mengajak beribadah kepadaNya dan menghilangkan penyekutuan dariNya.
Dalil dari AlQur’an:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت (النحل: من الآية36)
Dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul hendaklah kalian menyembah Alloh dan menjauhi thoghut.
Dalil dari sunnah:
[والأنبياء إخوة ودينهم واحد] متفق عليه
Para nabi itu bersaudara dan agama mereka satu. ya’ni semua rasul mengajak kepada tauhid.
Soal 6: Apa yang dimaksud dengan tauhid Ilah?
Jawaban: MengesakanNya dengan Ibadah, do’a, nadzar dan hukum.
Dalil dari AlQur’an:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّه(محمد: من الآية19)
Ketauhilah bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan haq kecuali Alloh.
Dalil dari sunnah:
[فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله] متفق عليه
Hendaklah yang pertama kali yang engkau menyeru mereka kepadanya persaksian bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Alloh.
Soal 7: Apa makna ungkapan: laa ilaaha illalloh.
Jawaban: Tidak ada yang disembah dengan haq kecuali Alloh.
Dalil dari AlQur’an:
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِل(الحج: من الآية62)
Demikian itu karena Alloh adalah Dialah yang haq dan apa yang mereka seru selainnya adalah yang batil.
Dalil dari sunnah:
[من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه] رواه مسلم .
Barang siapa yang berkata: tidak ada Ilah yang haq disembah kecuali Alloh, haramlah hartanya [untuk diambil] dan darahnya [untuk ditumpahkan] HR Muslim]
Soal 8: Apa ma’na tauhid dalam masalah sifat Alloh?
Jawaban: Mengukuhkan apa yang disifatkan Alloh dan RasulNya untuk diriNya.
Dalil dari AlQur’an:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ(الشورى: من الآية11)
Tidak ada yang seperti Dia sesuatupun, dan Dia Maha Mendengar dan Melihat.
Dalil dari sunnah:
[ينـزل ربنا تبارك وتعالى في كل ليلة إلى السماء الدنيا] متفق عليه
Robb kita Yang Maha Agung dan Tinggi setiap malam turun ke langit dunia [mutafaqun ‘alaihi] turun sesuai dengan keagunganNya dan kesucianNya
Soal 9: Apa faedah tauhid bagi seorang muslim.
Jawaban: Petunjuk di dunia dan keamanan di akherat.
Dalil dari AlQur’an:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ(الأنعام:82)
Orangorang yang beriman dan tidak mencampur keimanan mereka dengan kedholiman[kesyirikan] mereka mendapatkan keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.
Dalil dari sunnah:
[حق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئاً] متفق عليه
Hak hamba terhadap Alloh bahwa Dia tidak menyiksa orang yang tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun
Soal 10: dimana Alloh?
Jawaban: Alloh di atas langit diatas Arsy.
Dalil dari AlQur’an:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى(طـه:5)
ArRohman [Alloh Yang Maha Pengasih] bersemayam di atas Arsy.
Dalil dari sunnah:
[إن الله كتب كتاباً إن رحمتي سبقت غضبي فهو مكتوب عنده فوق العرش] روها البخاري
Sesungguhnya Alloh telah menulis buku: yang tertulis di dalamnya] sesungguhnya RahmatKu mengalahkan kemurkaanKu kitab itu tertulis di sisiNya di atas Arsy.
Soal 11: Apakah Alloh bersama kita dengan ilmuNya atau dengan DzatNya?
Jawaban: Allah bersama kita dengan ilmuNya mendengar dan melihat.
Dalil dari AlQur’an:
قَالَ لا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى(طـه:46)
Alloh berfirman: jangan kalian berdua takut sungguh Aku bersama kalian berdua mendengar dan melihat.
Dalil dari sunnah:
إنكم تدعون سميعاً قريباً وهو معكم [رواه مسلم]
Sesungguhnya kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar Maha dekat dan Dia bersama kalian. Yaitu dengan IlmuNya melihat dan mendengar kalian
Soal 12: Apa dosa yang paling besar?
Jawaban: Dosa yang paling besar sirik menyekutukan Alloh?
Dalil dari AlQur’an:
يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ(لقمان: من الآية13)
Wahai anakku janganlah engkau menyekutukan Alloh, sesungguhnya syirik itu kedholiman yang besar.
Dalil dari sunnah:
[سئل صلى الله عليه وسلم أي الذنب أعظم قال: أن تدعو لله ندّاً وهو خلقك] رواه مسلم
Nabi saw ditanya tentang dosa apa yang paling besar. Beliau bersabda: engkau menyeru bandingan untuk Alloh sedang Dia telah menciptakan kamu
Soal 13: Apa syirik besar itu?
Jawaban: Yaitu mengarahkan ibadah untuk selain Alloh seperti doa.
Dalil dari AlQur’an:
قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلا أُشْرِكُ بِهِ أَحَداً(الجـن:20)
Katakanlah tiada lain saya menyeru [berdoa] kepada Robbku dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun.
Dalil dari sunnah:
[أكبر الكبائر الإشراك بالله] رواه البخاري
Dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah menyekutukan Alloh.
Soal 14: Apa bahaya syirik besar?
Jawaban: Syirik besar penyebab kekal di neraka?
Dalil dari Al Qur’an:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ (المائدة: من الآية72)
Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Alloh maka sungguh Alloh telah mengharamkan atasnya sorga dan tempat tinggalnya di neraka.
Dalil dari sunnah:
[من مات يشرك بالله شيئاً دخل النار] رواه مسلم
Barang siapa mati dalam keadaan menyekutukan Alloh dengan sesuatu pasti masuk neraka
Soal 15: Apakah amalan bermanfaat jika dibarengi kesyirikan
Jawaban: Amal tidak bermanfaat yang dibarengi dengan syirik.
Dalil dari AlQur’an:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(الأنعام: من الآية88)
Kalau mereka menyekutukan sungguh gugurlah apa yang mereka amalkan.
Dalil dari sunnah:
[من عمل عملاً أشرك فيه معي غيري تركته وشركه]رواه مسلم
Barang sipa yang beramal suatu amalan ia menyekutukan didalamnya selain Aku, Aku tinggalkan dia dan sekutunya
Soal 16: Apakah kesyirikan itu ada di kalangan kaum muslimin.
Jawaban: Ya! banyak dan amat di sayangkan.
Dalil dari AlQur’an:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ (يوسف:106)
Dan tidaklah beriman kepada Alloh kebanyakan mereka kecuali mereka berbuat syirik.
Dalil dari sunnah:
[لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين وحتى تعبد الأوثان] صحيح رواه الترمذي
Tidaklah terjadi kiamat sehingga beberapa kabilah dari umatku bergabung dengan musyrikin dan sehingga berhala disembah.
Soal 17: Apa hukum berdoa kepada selain Alloh seperti para wali?
Jawaban: Berdoa kepada mereka suatu kesyirikan memasukkan ke neraka.
Dalil dari AlQur’an:
فَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ(الشعراء:213)
Maka jangan engkau seru bersama Alloh Ilah yang lain maka engkau termasuk orang yang disiksa.
Dalil dari sunnah:
[من مات وهو يدعو من دون الله ندّاً دخل النار] رواه البخاري
Barang siapa mati dan dia menyeru selain Alloh sebagai bandingan pastilah ia masuk neraka.
Soal 18: Apakah doa itu ibadah kepada Alloh?
Jawaban: Ya doa adalah ibadah kepada Alloh ta’aala.
Dalil dari AlQur’an:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ (غافر: من الآية60)
Robbmu berfirman: berdoalah kepadaKu pasti aku kabulkan buat kalian
Dalil dari sunnah:
[الدعاء هو العبادة] رواه الترمذي وقال حديث صحيح
Doa itu ibadah.
Soal 19: Apakah orang mati mendengar doa?
Jawaban: Orang-orang mati tidak mendengar doa.
Dalil dari AlQur’an :
إِنَّكَ لا تُسْمِعُ الْمَوْتَى (النمل: من الآية80)
Sesungguhnya engkau tidak memperdengarkan orang mati.
وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ(فاطر: من الآية22)
Dan tidak engkau memperdengarkan orang yang ada dalam kuburan.
Dalil dari sunnah:
إن لله ملائكة سياحين في الأرض يبلغون عن أمتي السلام صحيح رواه أحمد
Sesungguhnya Alloh memiliki Malaikat-Malaikat yang terbang ke berbagai tempat di bumi menyampaikan kepadaku salam dari umatku.
Soal 20: Apakah kita minta bantuan kepada orang mati?
Jawaban: Kita tidak minta bantuan kepada mereka, bahkan kita istighotsah dengan Alloh.
Dalil dari AlQur’an:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ (لأنفال: من الآية9)
Ingatlah ketika kalian istigotsah kepada Robb kalian maka Dia mengabulkan kalian.
Dalil dari sunnah:
[كان إذا أصابه هم أو غم قال : يا حي يا قيوم برحمتك أستغيث]حسن
Adalah Nabi jika terkena kesusahan dan kesedihan beliau berdoa: wahai Dzat Yang Maha Hidup, Wahai Dzat Yang Mengurusi MakhluqNya dengan rahmatMu aku beristighotsah.
Soal 21: Apakah boleh minta pertolongan kepada selain Allah
Jawaban: Tidak boleh minta pertolongan kecuali kepada Allah.
Dalil dari AlQur’an:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ(الفاتحة:5)
Hanya kepadaMu lah kami menyembah.
Dalil dari sunnah:
[إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله] رواه الترمذي وقال حديث حسن.
Soal 22: Apakah kita minta bantuan kepada yang hidup dan hadir?
Jawaban: Ya apa yang mereka mampu melakukan.
Dalil dari AlQur’an:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة: من الآية2)
Tolong menolonglah dalam masalah kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam masalah dosa dan permusuhan.
Dalil dari sunnah:
إذا سألت فاسأل الله رواه الترمذي
Kalau engkau minta mintalah kepada Allah dan jika engkau minta pertolongan mintalah kepada Allah.
Dalil dari sunnah:
[والله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه]
Allah berada dalam membantu seorang hamba, selama hamba tadi dalam membantu saudaranya.
Soal 23: Apakah boleh nadzar untuk selain Allah?
Jawaban: Tidak boleh nadzar kecuali untuk Allah.
Dalil dari AlQur’an:
 رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّراً فَتَقَبَّلْ مِنِّي(آل عمران: من الآية35)
Wahai Robbku sungguh aku bernadzar untukMu apa yang ada dalam perutku sebagai orang yang bebas [untuk berkhidmah di Masjid Al-Aqsho] maka terimalah dariku
Dalil dari sunnah:
[من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصيه الله فلا يعصه]رواه البخاري.
Siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah hendaklah ia mentaatinya [melaksanakan nadzarnya] barang siapa bernadzar untuk maksiat, janganlah ia mendurhakaiNya [dengan tidak melaksanakan nadzarnya]
Soal 24: Apakah boleh menyembelih untuk selain Allah?
Jawaban: Tidak boleh, karena hal itu termasuk syirik besar.
Dalil dari AlQur’an:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ(الكوثر:2)
Maka sholatlah untuk Robbmu dan sembelihlah [untukNya saja].
Dalil dari sunnah:
[لعن الله من ذبح لغير الله] رواه مسلم
Semoga Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.
Soal 25: Apakah boleh thowaf di kuburan?
Jawaban: Tidak boleh thowaf kecuali di Ka’bah.
Dalil dari AlQur’an:
 وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ(الحج: من الآية29)
Dan thowaflah kalian di Rumah Atiq [Ka'bah].
Dalil dari sunnah:
[من طاف بالبيت سبعا وصلى ركعتين كان كعتق رقبة ] صحيح رواه ابن ماجه.
Barang siapa yang thowaf di Baitulloh tujuh kali dan sholat dua roka’at, adalah seperti memerdekakan budak.
Soal 26: Apakah boleh sholat sementara kuburan ada di depan anda?
Jawaban: Tidak boleh sholat kearah kuburan.
Dalil dari AlQur’an:
 فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ(البقرة: من الآية144)
Maka arahkan wajahmu ke Al-Masjidil Harom yaitu menghadaplah ke Ka’bah.
Dalil dari sunnah:
[لا تجلسوا على القبر ولا تصلّوا إليها]رواه مسلم.
Janganlah kalian duduk diatas kuburan dan janganlah sholat kepadanya.
Soal 27: Apa hukum melakukan sihir?
Jawaban: Hukumnya melakukan sihir adalah kafir.
Dalil dari AlQur’an:
 وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْر(البقرة: من الآية102)
Akan tetapi setan setan itu kafir, mereka mengajari manusia sihir.
Dalil dari sunnah:
[ اجتنبوا الموبقات : الشرك بالله، والسحر ......رواه مسلم
Jauhilah oleh kalian tujuh dosa yang membinasakan: syirik, sihir.....
Soal 28: Apakah kita boleh mempercayai dukun dan peramal ?
Jawaban:Kita tidak boleh mempercayai keduanya dalam memberitakan masalah ghoib.
Dalil dari AlQur'an:
قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ (النمل:65)
Katakanlah tidak ada yang di langit maupun di bumi yang mengetaui tentang ghoib kecuali Allah dan mereka tidak sadar kapan dibangkitkan.
Dalil dari sunnah:
[من أتى عرافاً أو كاهناً فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد] صحيح رواه أحمد.
Barang siapa yang mendatangi para normal atau dukun kemudian membenarkan apa yang dikatakan sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.
Soal 29: Apakah ada yang mengetahui yang ghoib?
Jawaban: Tidak ada satupun yang mengetahui yang ghoib kecuali Allah.
Dalil dari AlQur’an:
[وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ )(الأنعام: من الآية59)
Dan di sisiNya kunci-kunci ghoib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.
Dalil dari sunnah:
[لا يعلم الغيب إلا الله] حسن رواه الطبراني
Tidak ada yang mengetahui yang ghoib kecuali Dia [Hadits hasan Riwayat Tobarony]
Soal 30:Dengan hukum apa kaum muslimin wajib menghukumi?
Jawaban: Mereka wajib menghukumi dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ(المائدة: من الآية44)
Dan siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, mereka adalah orang-orang kafir.
Dalil dari sunnah:
[الله هو الحكم وإليه المصير] حسن رواه أبو داود
Allah adalah penentu hukum, dan kepada-Nya tempat kembali. Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Soal 31: Apa hukum undang-undang yang bertentangan dengan Islam?
Jawaban: Mengamalkannya hukumnya kafir, jika ia membolehkannya.
Dalil dari AlQur’an:
)وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ)(المائدة: من الآية49)
Dan hukumilah diantara mereka dengan apa yang diturunkan oleh Allah
Dalil dari sunnah:
[ومن لم تحكم أئمتهم بكتاب الله ويتخيروا مما أنزل الله إلا جعل الله بأسهم بينهم شديد ]
Dan siapa yang pemimpin-pemimpin mereka tidak menghukumi dengan kitab Allah dan memilih dari apa yang Allah turunkan kecuali Allah jadikan permusuhan kuat diantara mereka.
Soal 32: Apakah boleh bersumpah dengan selain Allah?
Jawaban: Tidak boleh bersumpah kecuali dengan Nama Allah.
Dalil dari AlQur’an:
 بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُن(التغابن: من الآية7)
Ya pasti dan Demi Pemeliharaku sungguh kalian pasti dibangkitkan.
Dalil dari sunnah:
[من حلف بغير الله فقد أشرك] صحيح رواه أحمد
Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah sungguh telah musyrik [Hadits shohih riwayat Ahmad]
Soal 33: Apakah boleh menggantungkan kalung pengaman dan jimat?
Jawaban:Tidak boleh menggantungkannya, karena termasuk syirik.
Dalil dari AlQur’an:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُو(الأنعام: من الآية17)
Dan jika menimpamu suatu bahaya, maka tidak ada yang bisa menghilangkan kecuali Dia.
Dalil dari sunnah:
[من علق تميمة فقد أشرك] صحيح رواه أحمد
Barang siapa nmenggantungkan azimat maka ia telah musyrik .
Soal 34: Dengan apa kita bertawassul kepada Allah?
Jawaban: Kita tawassul kepada Allah dengan nama-namaNya, sifat-sifatNya dan amal sholeh.
Dalil dari AlQur’an:
وَلِلَّهِ الأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا (لأعراف: من الآية180)
Milik Allah nama-nama yang baik maka berdoalah dengannya.
Dalil dari sunnah:
[أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك] صحيح رواه أحمد
Aku mohon kepadaMu dengan segala nama yang dia milikmu, Engkau beri nama dengannya akan DzatMu.
Soal 35: Apakah doa memerlukan perantara makhluq?
Jawaban: Doa tidak memerlukan perantara.
Dalil dari Al-Qur’an:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ(البقرة: من الآية186)
Jika hambaku bertanya kepadamu tentang Aku sesungguhnya Aku dekat, aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepadaKu
Dalil dari sunnah:
[إنكم تدعون سميعاً قريباً وهو معكم] رواه مسلم
Sesungguhnya engkau berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar Dekat, dan Dia bersamamu.
Soal 36: Apa tugas yang diperankan rasul?
Jawaban: Tugas yang diperankan Rasul adalah menyampaikan wahyu.
Dalil dari AlQur’an:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ (المائدة: من الآية67)
Wahai Rasul sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu.
Dalil dari sunnah:
[اللهم اشهد] مسلم
Ya Allah saksikanlah. [ini jawaban beliau atas ucapan sahabat yang berkata kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan amanah, dan menasehati]
Soal 37: Dari siapa kita mohon syafa’at nabi ?
Jawaban: Kita mohon syafaat Nabi dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalil dari Al-Qur’an:
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعاً لَه(الزمر: من الآية44)
Katakanlah hanya milik Allah lah seruruh syafa’at
Dalil dari sunnah :
اللهم شفعه في [ أي شفع الرسول صلى الله عليه وسلم في] رواه الترمذي وقال حديث حسن.
Ya Allah jadikanlah dia [Rasul] pemberi syafa’at untukku.
Soal 38: Bagaimana kita mencintai Allah dan Rasulullah?
Jawaban: Cinta dengan bentuk ketaatan dan mengikuti perintah.
Dalil dari AlQur’an:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ (آل عمران: من الآية31)
Katakanlah jika anda mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintai kalian.
Dalil dari sunnah:
[لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين] البخاري
Tidaklah beriman seorang diantara kalian sehingga aku lebih ia cintai dari pada cintanya kepada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia. HR Bukhori.
Soal 39: Apakah boleh berlebih-lebihan dalam memuji Rasulullah?
Jawaban: Kita tidak berlebih-lebihan dalam memuji Rasul.
Dalil dari AlQur’an:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ ً(الكهف:110)
Katakanlah tiada lain saya hanya seorang manusia seperti kalian, telah diwahyukan kepadaku.
Dalil dari sunnah:
[لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم فإنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله] البخاري
Jangan engkau lebih lebihkan saya sebagaimana Nasoro Melebih lebihkan Isa anak Maryam tiada lain saya seorang hamba, maka katakanlah hamba Allah dan RasulNya
Soal 40: Siapa makhluq pertama kali.
Jawaban: Dari manusia Adam, dari benda pena.
Dalil dari AlQur’an:
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَراً مِنْ طِينٍ(صّ:71)
Ingatlah ketika RobbMu berfirman kepada Malaikat sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.
Dalil dari sunnah:
[إن أول ما خلق الله القلم] رواه أبو داود والترمذي وقال حديث حسن
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena.
Soal 41: Dari apa diciptakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Jawaban: Allah menciptakan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam dari nutfah.
Dalil dari AlQur’an:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَة(غافر: من الآية67)
Dialah yang menciptakan kalian dari tanah kemudian dari nutfah.
Dalil dari sunnah:
[إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوماً نطفة] متفق عليه
Sesungguhnya seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya empat puluh hari sebagai nutfah.
Soal 42: Apa hukum jihad dijalan Allah?
Jawaban: Jihad wajib dengan harta, jiwa dan lisan.
Dalil dari AlQur’an:
انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ(التوبة: من الآية41)
Berangkat lah jihad dalam kondisi ringan maupun berat dan berjihad lah dengan harta kalian dan jiwa kalian
Dalil dari sunnah:
[جاهدوا المشركين بأموالكم وأنفسكم وألسنتكم] صحيح رواه أبو داود.
Berjihad lah melawan orang-orang musyrikin dengan harta kalian, jiwa kalian dan lidah kalian
Soal 43: Apa wala’ untuk orang beriman?
Jawaban: Yaitu cinta, menolong orang-orang yang beriman yang bertauhid.
Dalil dari AlQur’an:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْض(التوبة: من الآية71)
Orang beriman laki dan perempuan sebagian mereka sebagai wali sebagian yang lainnya
Dalil dari sunnah:
[المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً] رواه مسلم
Orang mukmin bagi mukmin yang lainnya seperti satu bangunan sebagian menguatkan sebagian yang lainnya.
Soal 44: Apakah boleh berloyalitas kepada orang kafir dan menolong mereka?
Jawaban: Tidak boleh berloyalitas kepada orang kafir dan menolong mereka.
Dalil dari Al-Qur’an:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُم(المائدة: من الآية51)
Barang siapa mengambil mereka sebagai wali maka sesungguhnya dia termasuk dari golongan mereka .
Dalil dari sunnah:
[إن آل بني فلان ليسوا لي بأولياء] متفق عليه
Sesungguhnya keluarga bani fulan bukan waliku [karena mereka orang kafir]
Soal 45: Siapa wali itu?
Jawaban: Wali adalah orang beriman yang bertaqwa?
Dalil dari AlQur’an:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُون الذين آمنوا وكانوا يتقونَ(يونس:62)
Ketauhilah sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada rasa takut atas mereka juga tidak mereka sedih. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa.
Dalil dari sunnah:
[إن وليي الله وصالح المؤمنين] متفق عليه
Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang beriman yang sholeh
Soal 46: Untuk apa Allah menurunkan Al-Qur’an.
Jawaban: Allah menurunkan Al-Quran untuk diamalkan.
Dalil dari AlQur’an:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاء(لأعراف: من الآية3)
Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Robb kalian dan jangan ikuti wali selainNya.
Dalil dari sunnah:
[اقروا القرآن واعملوا به ولا تستكثروا به] صحيح رواه أحمد
Bacalah AlQur’an dan amalkan, jangan engkau memperbanyak harta dengannya .
Soal 47:Apakah kita mencukupkan diri dengan Alqur’an dari hadits.
Jawaban:Kita tidak mencukupkan diri dengan Al-Qur’an dari hadits.
Dalil dari AlQur’an:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ(النحل: من الآية44)
Dan telah kami turunkan peringatan kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.
Dalil dari sunnah:
[ألا وإني أوتيت القرآن ومثله معه] صحيح رواه أبو داود
Ketauhilah sesungguhnya aku diberi AlQur’an dan sepertinya bersamanya.
Soal 48: Apakah kita mendahulukan satu ucapan diatas ucapan Allah dan rasulNya.
Jawaban: Kita tidak mendahulukan satu ucapan diatas ucapan Allah dan RasulNya.
Dalil dari Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ(الحجرات: من الآية1)
Hai orang-orang beriman janganlah kalian mendahului dihadapan Allah dan RasulNya
Dalil dari sunnah:
[لا طاعة لأحد في معصية الله إنما الطاعة في المعروف] متفق عليه
Tidak ada ketaatan untuk seseorang dalam maksiat kepada Allah, tiada lain ketaatan itu ada dalam hal yang baik .
Soal 49: Apa yang kita lakukan jika kita berselisih?
Jawaban: Kita kembali kepada kitab dan Sunnah.
Dalil dari AlQur’an:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ(النساء: من الآية59)
Dan jika kalian berselisih maka kembalikan kepada Allah dan Rasul.
Dalil dari Sunnah
[تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله] صحيح
Aku telah tinggalkan dua perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya yaitu kitab Allah dan sunnah rasulNya.
Soal 50: Apa bid’ah dalam agama itu?
Jawaban: Semua yang tidak ada dalil syar’i atasnya.
Dalil dari Al-Qur’an :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّه(الشورى: من الآية21)
Apakah mereka punya sekutu yang mensyare’atkan buat mereka dari agama yang tidak Allah izinkan.
Dalil dari sunnah:
[من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ] متفق عليه
Barang siapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini, apa yang bukan darinya maka ia tertolak
Soal 51: apakah ada bid’ah yang baik?
Jawaban: Tidak ada bid’ah yang baik.
Dalil dari Al-Qur’an:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً (المائدة: من الآية3)
Pada hari ini aku telah sempurnakan buat kalian agama kalian, Telah aku sempurnakan nikmatKu atas kalian dan Aku telah Ridhoi Islam buat kalian sebagia diin [syistim hidup]
Dalil dari sunnah:
[إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة] صحيح رواه أبو داود
Jauhilah oleh kalian semua yang diada adakan, karena semua yang diada adakan itu bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat
Soal 51: Apakah dalam Islam ada sunnah yang baik?
Jawaban: Ya seperti orang yang memulai perbuatan baik supaya ditiru.
Dalil dari Al-Qur’an:
 وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً(الفرقان: من الآية74)
Dan jadikanlah aku imam untuk orang-orang yang bertaqwa.
Dalil dari sunnah:
[من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من بعده] رواه مسلم
Barang siapa yang mencontohkan sunnah yang baik baginya pahalanya dan pahala yang melakukannya setelahnya.
Soal 53: Apakah cukup bagi seorang untuk memperbaiki diri sendiri?
Jawaban: Harus memperbaiki diri sendiri dan keluarganya?
Dalil dari Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً  (التحريم: من الآية6)
Hai orang-orang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.
Dalil dari sunnah:
[إن الله تعالى سائل كل راع عما استرعاه أحفظ ذلك أم ضيعه] حسن
Sesungguhnya Allah ta’aala akan meminta pertanggungan jawaban setiap pemimpin dari apa yang dipimpinnya apakah menjaganya atau menyia-nyiakannya.
Soal 54: Kapan kaum muslimin menang?
Jawaban: Jika mengamalkan kitab Robb [Pemelihara] mereka dan sunnah nabi mereka?
Dalil dari AlQur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ(محمد:7)
Hai orangorang yang beriman jika kalian menolong Allah, Allah pasti menolongmu dan meneguhkan kaki kalian.
Dalil dari sunnah:
[لا تزال طائفة من أمتي منصورين] صحيح رواه ابن ماجه
Tidak henti-hentinya segolongan dari umatku menang tertolong.
الحمد لله رب العالمين.
(Dinukil dari عقيدة المسلم, “Aqidah Setiap Muslim”, Penulis: Syaikh Muhammad Jamil Zainu)

Sumber: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=464

Membebek (Menyerupai) Kafir [Tasyabbuh] Bahaya Laten di Tengah Umat

Tasyabbuh Bahaya Laten di Tengah Ummat



Tasyabbuh Bahaya Laten di Tengah Ummat



Sejarah mencatat, kehidupan ummat manusia sebelum diutusnya Rasulullah sangatlah jauh dari petunjuk Ilahi. Norma-norma kebenaran dan akhlak mulia nyaris terkikis oleh kerasnya kehidupan. Tidak heran bila masa itu dikenal dengan masa jahiliyyah.
Ketika kehidupan ummat manusia telah mencapai puncak kebobrokannya, Allah mengutus Rasul pilihan-Nya Muhammad bin ‘Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa petunjuk Ilahi dan agama yang benar, untuk mengentaskan ummat manusia dari jurang kejahiliyyahan yang gelap gulita menuju kehidupan Islami yang terang benderang.
Beliau tunjukkan semua jalan kebaikan, dan beliau peringatkan tentang jalan-jalan kebathilan. Sehingga benar-benar terasa bahwa kenabian dan apa yang beliau bawa merupakan barakah dan rahmat bagi semesta alam.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiyaa`:107)
Oleh karena itu, Allah telah menobatkan beliau sebagai suri tauladan terbaik bagi ummat manusia, dan Allah perintahkan seluruh ummat manusia untuk mengikutinya.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzaab:21)
“Dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk.” (Al-A’raaf:158)
Lebih dari itu, Allah mengancam orang-orang yang menentangnya dan menyalahi perintahnya.
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa`:115)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa ‘adzab yang pedih.” (An-Nuur:63)
Atas dasar itulah, maka segala ajaran yang menyelisihi ajaran Rasulullah adalah bathil dan tidak boleh untuk diikuti, terlebih lagi bila bersumber dari orang-orang kafir. Oleh karena itu, di antara prinsip Islam yang kokoh adalah kewajiban mengikuti jejak Rasulullah dan dilarang untuk mengikuti atau bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah.
Hakekat Tasyabbuh dan Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Pengertian Tasyabbuh
Tasyabbuh secara etimologis adalah bentuk mashdar dari tasyabbaha ? yatasyabbahu yang berarti menyerupai orang lain dalam suatu perkara. Sedangkan secara terminologis adalah menyerupai orang-orang kafir dan orang-orang yang menyelisihi Rasulullah dalam hal aqidah, ibadah, perayaan/seremonial, hari-hari besar, kebiasaan, ciri-ciri dan akhlak yang merupakan ciri khas bagi mereka.
Hukum Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
“Telah kami sebutkan sekian dalil dari Al-Qur`an, As-Sunnah, Ijma’, atsar (amalan/perkataan shahabat dan tabi’in), dan pengalaman, yang semuanya menunjukkan bahwa menyerupai mereka dilarang secara global. Sedangkan menyelisihi tata cara mereka merupakan sesuatu yang disyari’atkan baik yang sifatnya wajib ataupun anjuran sesuai dengan tempatnya masing-masing.”
(Iqtidhaa Ash-Shiraathil Mustaqiim 1/473)
Siapakah Orang-Orang Kafir yang Tidak Boleh Kita Menyerupainya?
Orang-orang kafir yang tidak boleh kita menyerupainya meliputi ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) dan orang-orang kafir lainnya.


Bahaya Tasyabbuh dengan Orang-Orang Kafir
Di antara bahaya dan dampak negatif tasyabbuh adalah:
1. Bahwa partisipasi dalam penampilan dan akhlak akan mewarisi kesesuaian dan kecenderungan kepada mereka, yang kemudian mendorong untuk saling menyerupai dalam hal akhlak dan perbuatan.
2. Bahwa menyerupai dalam penampilan dan akhlak, menjadikan kesamaan penampilan dengan mereka, sehingga tidak tampak lagi perbedaan secara zhahir antara ummat Islam dengan Yahudi dan Nashara (orang-orang kafir).
3. Itu terjadi pada hal-hal yang asalnya mubah. Dan bila terjadi pada hal-hal yang menyebabkan kekafiran, maka sungguh telah jatuh ke dalam cabang kekafiran.
4. Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam perkara-perkara dunia akan mewariskan kecintaan dan kedekatan terhadap mereka. Lalu bagaimana dalam perkara-perkara agama? Sungguh kecintaan dan kedekatan itu akan semakin besar dan kuat, padahal kecintaan dan kedekatan terhadap mereka dapat meniadakan keimanan seseorang.
5. Lebih dari itu Rasulullah telah menyatakan,
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.”
(HR. Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ no.6025)
(Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/93, 94 dan 550)
Perkara-Perkara yang Termasuk Tasyabbuh dan Diharuskan untuk Menyelisihinya
Perkara-perkara yang termasuk tasyabbuh dan diharuskan untuk menyelisihinya mencakup semua perkara yang merupakan ciri khas bagi mereka (di setiap masa) baik dalam hal aqidah, ibadah, hari-hari besar, penampilan/model, ataupun tingkah laku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari hadits Anas bin Malik, “Lakukanlah apa saja (terhadap istri kalian) kecuali nikah (jima’).” (HR. Muslim no.302)
“Maka hadits ini menunjukkan bahwa apa yang Allah syari’atkan kepada Nabi-Nya sangat banyak mengandung unsur penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi. Bahkan beliau menyelisihi mereka dalam semua perkara yang ada pada mereka, sampai-sampai mereka berkomentar, ‘Orang ini (Rasulullah) tidaklah mendapati sesuatu pada kami kecuali berusaha untuk menyelisihinya.” (Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/214-215, 365)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata,
“Tasyabbuh dengan orang-orang kafir terjadi dalam hal penampilan, pakaian, tempat makan, dan sebagainya karena ia adalah kalimat yang bersifat umum. Dalam artian, bila ada seseorang yang melakukan ciri khas orang-orang kafir, di mana orang yang melihatnya mengira bahwa ia termasuk golongan mereka (maka saat itulah disebut dengan tasyabbuh, pent).” (Majmuu’ Duruus wa Fataawaa Al-Haramil Makkiy 3/367)
Perkara-perkara yang merupakan ciri khas mereka tersebut terbagi menjadi tiga jenis:
1. Perkara yang disyari’atkan dalam agama kita dan juga dalam agama mereka. Atau dahulu bukan syari’at mereka namun saat ini mereka kerjakan sebagaimana kita mengerjakannya, seperti: shaum ‘Asyura (10 Muharram, pent), shalat, dan shaum (puasa). Maka cara penyelisihannya adalah mengerjakannya dengan cara/tuntunan yang berbeda dengan mereka.
Seperti mengiringkan shaum tasu’a (puasa 9 Muharram, pent) bersamaan dengan ‘Asyura, menyegerakan berbuka dan shalat maghrib, serta mengakhirkan sahur.
2. Perkara yang disyari’atkan dalam agama mereka namun kemudian dimansukh (dihapus) secara total, seperti hari Sabtu atau kewajiban shalat/shaum tertentu. Maka diharamkan bagi kita untuk menyerupai mereka dalam perkara tersebut. Bahkan menyerupai mereka dalam perkara tersebut lebih jelek daripada menyerupai mereka dalam perkara jenis pertama.
3. Perkara yang mereka ada-adakan dalam hal ibadah, adat, atau ibadah yang berkaitan dengan adat. Maka menyerupai mereka dalam jenis ini lebih jelek daripada menyerupai mereka dalam dua jenis lainnya. (Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/437-477)
Bagaimana dengan Mobil, Pesawat Terbang, dan Perangkat Teknologi Lainnya?
Memanfaatkan dan meniru mobil, pesawat terbang, alat-alat sains, dan teknologi lainnya bukanlah termasuk dari tasyabbuh. Karena apa yang mereka buat dan kembangkan tersebut hakekatnya bukanlah ciri khas/kekhususan yang mereka miliki. Siapa saja baik muslim ataupun kafir yang bersungguh-sungguh mempelajari dan mengembangkannya akan mampu untuk membuatnya. Demikian pula mengimpor barang-barang tersebut dari negeri-negeri kafir dan menggunakannya, bukanlah bagian dari tasyabbuh. Karena Rasulullah sendiri pernah menggunakan produk orang-orang kafir baik pakaian, bejana, dan lain sebagainya. Sebagaimana pula beliau pernah menerima hadiah dari Muqauqis, seorang raja Mesir yang beragama Nashara. Namun bila penggunaan produk mereka diiringi dengan penerapan kebiasaan, tata cara, dan aturan yang merupakan ciri khas dari mereka (orang-orang kafir) maka yang demikian dilarang dan termasuk dari tasyabbuh. (Diringkas dari Muqaddimah (Muhaqqiq) Iqtidhaa` Ash-Shiraathil Mustaqiim 1/48 dengan beberapa tambahan)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata,
“Adapun sesuatu yang sudah tersebar di kalangan ummat Islam dan orang-orang kafir, maka penyerupakan dalam hal ini diperbolehkan walaupun asalnya dari orang-orang kafir, selama bukan sesuatu yang dzatnya haram seperti pakaian sutra (untuk laki-laki, pent).” (Majmuu’ Duruus wa Fataawaa Al-Haramil Makkiy 3/367)
Bagaimana dengan Pantalon?
Asy-Syaikh Al-Albaniy berkata, “Pada pantalon (celana panjang yang umum dipakai kaum laki-laki saat ini, red.) ada dua musibah:
1. Pemakainya menyerupai orang-orang kafir, karena ummat Islam dahulu memakai sirwal (celana) yang luas dan lebar, yang sampai hari ini sebagiannya masih dipakai di Syiria dan Lebanon. Ummat Islam tidaklah mengenalnya kecuali setelah masa penjajahan. Dan ketika para penjajah itu hengkang, mereka tinggalkan peninggalan-peninggalan yang jelek, yang akhirnya diambil oleh (sebagian besar) ummat Islam karena kebodohannya.
2. Bahwasanya pantalon itu membentuk ‘aurat, karena ‘aurat laki-laki adalah dari lutut hingga pusar. Seorang yang mengerjakan shalat sudah seharusnya menjauhkan diri dari maksiat, lalu bagaimana dengan seseorang yang dalam keadaan sujud kepada Allah sementara kedua pantatnya bahkan di antara keduanya tampak membentuk (karena shalat memakai pantalon, pent)?! Bagaimana orang ini mengerjakan shalat (dalam keadaan demikian) sedangkan dia sedang menghadap Rabb Semesta Alam?!…” (Al-Qaulul Mubiin fii Akhthaa`il Mushalliin hal.20-21)
Bagaimana Membangun Tempat Ibadah di Bekas Tempat-Tempat Kekafiran dan Kemaksiatan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun tempat-tempat kekafiran dan kemaksiatan yang belum pernah terjadi padanya ‘adzab Allah, jika dijadikan sebagai tempat yang bernuansa keimanan dan ketaatan maka bagus (bukan termasuk tasyabbuh). Nabi telah memerintahkan penduduk Thaif agar membangun masjid di tempat sesembahan yang dahulu mereka punyai. Demikian pula penduduk Yamamah agar membangun masjid di tempat yang dahulu sebagai sinagog. Bahkan masjid beliau asalnya adalah kuburan orang-orang musyrikin (beliau bangun setelah dipindahkannya semua kuburan-kuburan tersebut ke tempat lain).” (Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/266-267)
Apakah Tasyabbuh Harus dengan Niat?
Suatu amalan yang menyerupai ciri khas orang-orang kafir akan dihukumi sebagai tasyabbuh, walaupun tidak ada niatan untuk menyerupainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Demikian pula larangan tasyabbuh dengan mereka, mencakup perkara-perkara yang engkau niatkan untuk menyerupai mereka dan juga yang tidak engkau niatkan untuk menyerupai mereka.” (Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/473, 1/219-220, 226-227 dan 272)
Hikmah Menyelisihi Orang-Orang Kafir
Menyelisihi orang-orang kafir mempunyai hikmah yang sangat besar bagi ummat Islam. Di antara hikmahnya adalah:
1. Menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang zhahir (penampilan dan akhlak) merupakan suatu maslahat bagi orang-orang yang beriman. Dengan itu akan tampak perbedaan penampilan yang dapat menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan para penghuni neraka tersebut.
2. Bahwasanya cara/jalan yang mereka miliki tidak keluar dari dua keadaan: merusak atau mempunyai kelemahan. Karena seluruh amalan yang mereka ada-adakan dalam agama dan juga yang masukh (terhapus dengan syari’at Islam) sifatnya merusak. Sedangkan amalan-amalan mereka yang tidak mansukh mempunyai banyak kelemahan, dan masih mengalami proses penambahan atau pengurangan dalam syari’at Islam.
3. Menyelisihi mereka merupakan sebab jayanya agama Islam.
4. Menyelisihi mereka termasuk tujuan utama diutusnya Rasulullah.
5. Dengan menyelisihi mereka akan terbedakan antara seorang muslim dengan seorang kafir, dan tidak saling menyerupai satu dengan yang lainnya. (Diringkas dari Iqtidhaa`ush Shiraathil Mustaqiim 1/197, 198, 209 dan 365)
[Diambil dari Asy-Syariah No.11/I/1425H/2004 hal.5-8]
Bagaimana dengan Valentine Day?
Valentine Day adalah hari bersejarah bagi orang-orang kafir (khususnya Nashara) dan merupakan salah satu ciri khas mereka yang selalu diperingati (dikenang dan diramaikan) pada setiap tanggal 14 Februari. Mereka menyebutnya sebagai hari kasih sayang dan cinta. Mereka saling memberikan bunga, tanda cinta dan sejenisnya kepada teman/kekasihnya.
Oleh karena valentine day merupakan salah satu kekhususan/ciri khas orang-orang kafir maka kita ummat Islam dilarang untuk ikut mengenang dan meramaikannya. Baik dengan memberikan bunga, hadiah, tanda cinta dan sejenisnya kepada seseorang.
Di samping itu, Islam telah melarang pacaran dan hal-hal yang mengarah ke sana seperti khalwat (berdua-duaan), ikhtilath dan sebagainya, yang perbuatan ini merupakan salah satu budaya dan kebiasaan orang-orang kafir.
Termasuk yang dilarang adalah ikut berjualan bunga, boneka, makanan, kueh atau coklat yang berbentuk hati dan sebagainya dalam rangka meramaikan hari tersebut. Demikian juga dilarang bagi kita untuk menampakkan kegembiraan pada hari tersebut.
Janganlah kita menjadi orang-orang yang ikut andil dan meramaikan hari-hari raya atau hari-hari kekhususan mereka.
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maa`idah:2)
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Abdullah bin ‘Umar)
Semoga pembahasan tentang tasyabbuh ini menjadi secercah cahaya yang dengannya Allah menunjuki kita untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah dan para shahabatnya, dan menjauhkan kita dari jalan orang-orang kafir para penghuni neraka. Aamiin. Wallaahu A’lam.

Sumber:
Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Edisi ke-14 Tahun ke-4 / 10 Februari 2006 M / 11 Muharrom 1427 H

http://salafiindo.wordpress.com/2007/12/16/tasyabbuh-bahaya-laten-di-tengah-ummat/

Antara Berbakti kepada Kedua Orangtua dan Taat Pada Suami

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?

Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu' kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah l dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha'if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima'. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li'an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali'at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”