Minggu, 15 Mei 2011

Answer to Why Can't We See Allah in This Life to a Child




Shaykh Al-Fawzan was asked on behalf of a young girl the following question:
My young daughter constantly asks me, ‘Why can’t we see Allah in this life?’ What is the best answer to give her as she is young?
The Shaykh (May Allah preserve him) said,


Say to her, ‘This is because you are not able to see him [in this life]. You would burn to pieces.’ It is not possible for a created being to see Allah in this life. Whereas in the Hereafter Allah gives the believer the strength and ability so he is able to see Allah. Yes. (1)

In another place Shaykh Al-Fawzan mentions:

“The Jahmiyyah and the Mu’tazilah, all of them, reject Ar-Ru’yah (the seeing of Allah) in the Hereafter. Another group exists who say, ‘Verily Allah is seen in this life and in the Hereafter.’ This... is a position that is held by some of the Sufis.

The third position, and this is the true and correct stance, is that Allah, the Mighty and Majestic will be seen in the Hereafter by the people of paradise as is found in the ahadeeth that have been narrated upon the Prophet (peace and blessings be upon him) and which have reached the level of Mutawaatir (such a great number of ahadeeth it is not possible that they have all been invented). However, in this life, then verily Allah cannot be seen because the people cannot endure and survive seeing Him, the Exalted in this life. When Moosa (peace and blessings be upon him) asked to see Allah, the Exalted, in this life, Allaah said:

"And when Moses arrived at Our appointed time and his Lord spoke to him, he said, “My Lord, show me [Yourself] that I may look at You.” [Allāh] said, “You will not see Me, but look at the mountain; if it should remain in place, then you will see Me.” But when his Lord appeared to the mountain, He rendered it level, and Moses fell unconscious. And when he awoke, he said, “Exalted are You! I have repented to You, and I am the first of the believers.” [Al-A’raaf: 143]

The solid mountain became dust due to the Greatness of Allah, the Mighty and Majestic. So how can a human being withstand seeing Allah [in this life]?” (2)
________________________

Source: (1) http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=119604
(2) Shaykh Al-Fawzan’s explanation of Al-Haa’iyyah, p. 78-79

Rabu, 04 Mei 2011

Hal-hal di luar kebiasaan Haidh

HAL-HAL DILUAR KEBIASAAN HAID

Oleh:  Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin -rahimahullaahu-
 


Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid :

[1]. Bertambah Atau Berkurangnya Masa Haid
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

[2]. Maju Atau Mundur Waktu Datangnya Haid
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lalu tiba-tiba haid pada akhir bulan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada saat terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.

Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy-Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al-Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya : "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya di jelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dubutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnyapun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja" [Al-Mughni, Juz 1, hal. 353].

[3]. Darah Berwarna Kuning Atau Keruh
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.

Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci".

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid". Dan dalam Fathul Baari dijelaskan :"Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih" dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah".

Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata : "Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih", maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

[4]. Darah Haid Keluar Secara Terputus-Putus
Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :

Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid ?.

Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al-Faiq (disebutkan dalam kitab Al-Inshaaf), juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih ; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. begitupula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari ; padahal tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.

Adapun yang masyhur menururt madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci ; kecuali apabila jumlah masanya melampui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampui itu adalah istihadhah.

Dikatakan dalam kitab Al-Mughni :"Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : ... Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..." [Al-Hajj : 78]

Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keaadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih".[Al-Mughni, Juz 1, hal. 355].

Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua mendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.

[5]. Terjadi Pengeringan Darah
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).

Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]