Kamis, 16 Juni 2011

Hakikat Karamah Wali Allah dan Wali Syaithan

Hakekat Karomah wali Allah
dan wali Syaithan

Penulis: Buletin Islam Al Ilmu Edisi 13/II/1425


 
Definisi Karomah
Diantara keyakinan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah meyakini adanya Karomah dan ia datang dari sisi Allah Ta’ala. Tahukah, apa yang dimaksud dengan Karomah?
Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan (tabiat manusia) yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Dan termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya Karomah para wali dan apa-apa yang Allah perbuat dari keluarbiasaan melalui tangan-tangan mereka baik yang berkaitan dengan ilmu, mukasyafat (mengetahui hal-hal yang tersembunyi), bermacam-macam keluarbiasaan (kemampuan) atau pengaruh-pengaruh.” (Syarah Aqidah Al Wasithiyah hal.207).

Karomah ini tetap ada sampai akhir zaman dan terjadi pada umat ini lebih banyak daripada umat-umat sebelumnya, yang demikian itu menunjukan keridhoan Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya dan sebagai pertolongan baginya dalam urusan dunianya atau agamanya. Namun bukan berarti Allah Ta’ala benci terhadap orang-orang yang tidak nampak karomah padanya.

Perkara “Karomah” ini telah tsabit (tetap) secara nash baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah bahkan juga secara kenyataan.

Kepada siapakah Karomah ini diberikan?
Karomah ini Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman serta bertaqwa kepada-Nya, yang disebut dengan wali Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman ketika menyebutkan tentang sifat-sifat wali-wali-Nya :
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
(artinya):
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”. (QS. Yunus: 62-63)

Dalam ayat ini Allah Ta’ala mengabarkan tentang keadaan wali-wali-Nya dan sifat-sifat mereka, yaitu: “Orang-orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir serta beriman dengan takdir yang baik maupun yang buruk.”

Kemudian mereka merealisasikan keimanan mereka dengan melakukan ketakwaan dengan cara melakukan segala perintah Allah Ta’ala dan meninggalkan segala larangan-Nya. (Taisir Karimir Rahman karya As Sa’di hal, 368)

Apakah wali Allah itu memiliki atribut-atribut tertentu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa wali-wali Allah itu tidak memiliki sesuatu yang membedakan mereka dengan manusia lainnya dari perkara-perkara dhahir yang hukumnya mubah seperti pakaian, potongan rambut atau kuku. Dan merekapun terkadang dijumpai sebagai ahli Al Qur’an, ilmu agama, jihad, pedagang, pengrajin atau para petani. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/194)

Apakah wali Allah itu harus memiliki karamah? Lebih utama manakah antara wali yang memilikinya dengan yang tidak?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa tidak setiap wali itu harus memiliki karamah. Bahkan, wali Allah yang tidak memiliki karamah bisa jadi lebih utama daripada yang memilikinya. Oleh karena itu, karamah yang terjadi di kalangan para Tabi’in itu lebih banyak daripada di kalangan para Sahabat, padahal para Sahabat lebih tinggi derajatnya daripada para Tabi’in. (Disarikan dari Majmu’ Fatawa 11/283)

Apakah setiap yang di luar kebiasaan dinamakan dengan ‘Karamah’?
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Nashir Ar Rasyid rahimahullah memberi kesimpulan bahwa sesuatu yang di luar kebiasaan itu ada tiga macam:
- Mu’jizat yang terjadi pada para Rasul dan Nabi
- Karamah yang terjadi pada para wali Allah
- Tipuan setan yang terjadi pada wali-wali setan (Disarikan dari At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).

Sedangkan untuk mengetahui apakah itu karamah atau tipu daya setan tentu saja dengan kita mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan pada masing-masing orang yang mendapatkannya (wali) tersebut. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka janganlah mempercayainya dan tertipu dengannya sampai kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193)

Beberapa contoh Karamah
1. Allah Ta’ala berfirman (artinya):
فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَامَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”. (QS. Al Imran: 37)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “Ayat ini merupakan dalil akan adanya Karomah para wali yang keluar dari kebiasaan manusia, sebagaimana yang telah mutawatir dari hadits-hadits tentang permasalahan ini. Berbeda dengan orang-orang yang tidak meyakini tentang adanya Karomah ini.” (Taisir Karimur Rahman hal: 129)
2. Apa yang terjadi pada “Ashhabul Kahfi” (penghuni gua). Suatu kisah agung yang terdapat dalam surat Al Kahfi. Allah berfirman :
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
(artinya):
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan kami tambahkan pada mereka petunjuk.” (QS. Al Kahfi: 13).
Mereka ini (Ashabul Kahfi) sebelumnya hidup di tengah-tengah masyarakat yang kafir (dengan pemerintahan yang kafir) lalu mereka lari dari masyarakat itu. Dalam rangka menyelamatkan agama mereka, kemudian Allah melindungi mereka di dalam Al Kahfi (gua yang luas yang berada di gunung).

Tatkala Allah Ta’ala telah selamatkan mereka di dalam gua tersebut, lalu Allah tidurkan mereka dalam waktu yang sangat panjang, disebutkan dalam ayat (artinya):
“Mereka tinggal dalam gua selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Al Kahfi:25).
3.Diantara Karomah para wali yang disebutkan dalam Al Qur’an adalah apa yang terjadi pada Dzul Qarnain yaitu seorang raja yang shalih yang Allah nyatakan (artinya): “Sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepadanya di muka bumi dan kami telah memberikan kepadanya jalan untuk mencapai segala sesuatu”. (Al Kahfi :84)
4. Diantara Karomah para wali juga apa yang terjadi pada kedua orang tua seorang anak yang dibunuh oleh nabi Khidhir yang ketika itu nabi Musa mengatakan: ”Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih padahal dia tidak membunuh orang lain?“, yang kemudian Khidhir menjawabnya: “Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang yang mukmin dan kami khawatir bahwa dia akan menariknya kepada kesesatan dan kekafiran.” (Al Kahfi:74)
5. Apa yang telah diriwayatkan secara mutawatir tentang berita Salafus Shalih dari para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, Tabi’in, Tabiut Tabi’in dan generasi setelah mereka tentang perkara Karomah yang terjadi pada diri mereka.

Perbedaan Antara Karomah Dan Perbuatan Syaithon
Ada sesuatu yang bukan mu’jizat dan juga bukan Karomah, dia adalah “Al Ahwal As Syaithoniyyah” (perbuatan syaithon). Inilah yang banyak menipu kaum muslimin, dengan anggapan bahwa ia Karomah, padahal justru tidak ada kaitannya dengan Karomah, karena:
- Karomah datangnya dari Allah Ta’ala sedangkan ia jelas datangnya dari syaithon. Sebagaimana yang terjadi pada Musailamah Al Kadzdzab dan Al Aswad Al Ansyi (Dua orang pendusta di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang mengaku menjadi nabi) dan menyampaikan perkara-perkara yang ghoib, ini jelas merupakan perbuatan syaithon.
- Demikian pula Karomah para wali disebabkan karena kuatnya keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah Ta’ala. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala maka ia pun menjadi wali Allah Ta’ala”. Sedangkan perbuatan syaithon ini dikarenakan kufurnya mereka kepada Allah Ta’ala dengan melakukan kesyirikan-kesyirikan serta kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, dan syarat-syarat tertentu yang harus ia lakukan.
- Karomah merupakan suatu pemberian dari Allah Ta’ala kepada hamba-Nya yang shalih dengan tanpa susah payah darinya, berbeda dengan perbuatan syaithon, maka ini terjadi dengan susah payah setelah sebelumnya ia berbuat syirik kepada Allah Ta’ala.
- Karomah para wali tidak bisa disanggah atau dibatalkan dengan sesuatupun. Berbeda dengan perbuatan syaithon yang dapat dibatalkan dengan menyebut nama-nama Allah Ta’ala atau dibacakan ayat kursi atau yang semisalnya dari ayat-ayat Al Qur’an. Bahkan Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ada seseorang yang terbang di atas udara kemudian datang seseorang dari Salafushshalih lalu dibacakan ayat kursi kepadanya maka seketika itu dia jatuh dan mati.
- Karomah itu tidaklah menjadikan seseorang sombong dan merasa bangga diri, justru dengan adanya Karomah ini menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah dan semakin mensyukuri nikmat Allah Ta’ala. Adapun perbuatan syaithon bisa menjadikan seseorang bangga diri atau sombong dengan kemampuan yang dia miliki serta angkuh terhadap Allah Ta’ala, sehingga jelaslah bagi kita akan hakekat Karomah dan perbuatan syaithon.

Syubhat dan Bantahannya
Ada beberapa kelompok yang mengingkari adanya Karomah, yaitu: Jahmiyah, Mu’tazilah’ dan sebagian dari Asy’ariyah. Mereka berdalil dengan syubhat-syubhat yang dilandasi dengan akal mereka yang rendah. Mereka mengatakan: ”Bahwa terjadinya Karomah itu hanya merupakan perkara yang akan menjadikan kesamaran antara nabi dengan para wali dan antara wali dengan Dajjal.”

Bantahan syubhat ini (secara ringkas) adalah:
Pertama: kita yakin dengan keyakinan yang penuh bahwa Karomah itu benar-benar ada berdasarkan dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah dan kenyataan yang ada.
Kedua: ucapan mereka bahwa Karomah dapat menjadikan kesamaran antara wali dengan seorang Nabi, justru tidaklah demikian karena wali sama sekali tidak berkaitan dengan kenabian, dan apa yang terjadi dari Karomah itu dikarenakan kuatnya keimanan dan ketakwaan dia kepada Allah Ta’ala dan disebabkan waro’nya.

Sedangkan kesamaan antara wali dengan Dajjal, maka sungguh dapat dilihat dari kehidupan seseorang yang terjadi padanya keluarbiasaan itu. Kemudian dilihat dari keadaan orang ini apakah dia seorang yang shalih atau seorang yang fasiq. Demikianlah timbangan yang benar didalam menghukumi seseorang yang terjadi padanya perkara-perkara yang di luar kebiasaan manusia.

Macam-Macam Manusia Dalam Mensikapi Masalah Karomah
Pertama: Orang-orang yang mengingkari adanya Karomah yaitu dari kelompok ahli bid’ah seperti Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan sebagian dari Asy’ariyah. Dengan alasan yang telah disebutkan diatas.
Kedua: Orang-orang yang bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menetapkan Karomah yaitu dari kalangan orang-orang “Sufi” dan para “Penyembah kubur”, yang menganggap segala keluarbiasaan itu sebagai Karomah, tanpa memperhatikan keadaan pelakunya atau pemiliknya.
Ketiga: Orang-orang yang mengimani serta membenarkan adanya Karomah dan mereka tetapkan Karomah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah. Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
(Lihat syarah Al Aqidah Al Wasithiyah oleh As Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hal: 207-208)

Wallahu A’lam bis Shawab.

Rabu, 01 Juni 2011

Sepuluh Pembatal Keislaman

Sepuluh Pembatal Keislaman

Ini adalah terjemahan dari kitab Al-Qaul Al-Mufid fii Adillah At-Tauhid Bab: Nawaqidh Al-Islam ‘Asyarah, karya: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-Yamani -hafizhahullah-, salah seorang murid dari Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i -rahimahullah-.
Pertama: Kesyirikan (beribadah kepada selain Allah).Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni semua dosa di bawah dari itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh di telah mengadakan dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’:48)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Rabbku dan Rabb kalian”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan tempatnya adalah di neraka, tidak ada seorangpun penolong bagi orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah: 72)
Kedua: Berpaling dari Islam dengan lebih memilih agama Yahudi, Nashrani, Majusi, Komunis, Sekularis, atau selainnya dari keyakinan yang membawa kekufuran jika dia menyakininya.Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut kepada kaum mukminin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kalian dalam beberapa urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila para malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus amalan-amalan mereka. Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau kami kehendaki, niscaya kami tunjukkan mereka kepada kalian sehingga kalian benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya, dan kalian benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (QS. Muhammad: 25-30)
Ketiga: Orang yang tidak mengkafirkan orang kafir baik dari Yahudi, Nashrani, Majusi, orang-orang musyrik, atau orang yang mulhid (Atheis) atau selain itu dari berbagai macam kekufuran. Atau dia meragukan kekafiran mereka atau dia membenarkan mazhab/ajaran mereka, maka dia telah kafir.Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir dengan sebenar-benarnya kekafiran. Kami Telah menyediakan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS. An-Nisa’: 150-151)
Keempat: Orang yang meyakini bahwasanya petunjuk selain petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wassallam- lebih sempurna atau meyakini bahwa hukum selain hukum yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam- lebih baik (daripada petunjuk dan hukum beliau). Seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum thagut daripada hukum yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallahu’alaihi wasallam-.
Allah Ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan, dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah: 50)
Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85)
Kelima: Orang yang membenci apa yang dibawa oleh Rasulullah -shallallahu’alaihi wasallam-, walaupun dia mengamalkannya.Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghilangkan amalan-amalan mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang Allah turunkan maka Allah menghapuskan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 8-9)
Keenam: Orang yang mengolok-olok (menghina) Allah, Rasul, Al-Qur’an, agama Islam, malaikat, atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah satu syiar dari syiar-syiar Islam seperti, shalat, zakat, puasa, haji, tawaf di Ka’bah,wukuf di ‘Arafah, atau menghina Masjid, azan, jenggot, atau sunnah-sunnah Rasulullah -shollallahu’alaihi wasallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah, dan tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta yang terdapat keberkahan padanya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya, dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Ketujuh: Sihir, termasuk ash-shorfu (merubah seseorang dari sesuatu yang dicintainya menjadi yang dibencinya) dan al-athfu (mendorong seseorang dari sesuatu yg dibencinya menjadi dicintainya/pelet dan semacamnya, pent.)Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi justru setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (kepada kamu) sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat memisahkan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak bisa memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberikan mudharat kepada mereka dan tidak pula memberi manfaat kepada mereka. Sungguh mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)
Kedelapan: Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum muslimin.Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian dari ahli kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman. Bagaimanakah kalian (bisa sampai) kafir padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian dan Rasul-Nya berada di tengah-tengah kalian? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali Imron: 100-101)
Kesembilan: Meyakini bahwa ada sebagian manusia yang diberi keleluasaan untuk keluar dari syariat Rasulullah -shollallahu ’alaihi wasallam-, sebagaimana Nabi Khidir diperbolehkan keluar dari syariat yang dibawa Nabi Musa -‘alaihissalam-.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Kesepuluh: Berpaling dari agama Allah Ta’ala, tidak mempelajarinya, dan tidak beramal dengannya.Allah Ta’ala berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya, kemudian dia berpaling darinya? Sesungguhnya kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (QS. As-Sajdah: 22)
Allah Ta’ala berfirman, “Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (Al-Quran). Barangsiapa yang berpaling dari Al-Qur’an, maka sesungguhnya dia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalamnya dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat.” (QS. Thaha: 99)

http://al-atsariyyah.com/10-pembatal-keislaman.html

Umur, Anugerah yang Banyak Diabaikan

Thursday, 24 March 2011 14:47
Umur, Anugrah yang Banyak Diabaikan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.)



Ada sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah l setelah senja, setelah pensiun atau purna tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tak pernah mengetahuinya.
Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya, padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat– kita tidak berbekal diri dengan ketaatan?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat, di mana manusia terbagi menjadi: ashhabul jannah (penghuni surga) dan ashhabul jahim (penghuni neraka). Itulah hakikat perjalanan manusia di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dan sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Allah l berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Ibnu Katsir t berkata: “Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.” (Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)
Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan mungkin kembali. Setiap hari dari waktu kita berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi n bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ، وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ، وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).” (HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud z. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)
Jangan Menunda-nunda Beramal
Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan: “Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.” Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar? Atau justru akan bertambah kesesatannya?! Allah l berfirman:
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Ibnul Qayyim t berkata: “Sesung-guhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.” (Ma’alim Fi Thariqi Thalabil ‘Ilmi hal. 32)
Abdullah bin Umar c berkata:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْـمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لـِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لـِمَوْتِكَ
“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi, janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.” (HR. Al-Bukhari no. 6416)
Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang?! Allah l berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (Al-Mu`minun: 99-100)
Menyia-nyiakan Kesempatan
Banyak orang yang melewati hari-harinya dengan hura-hura, berfoya-foya, dan perbuatan sia-sia. Bahkan tidak jarang dari mereka yang tenggelam dalam dosa. Tidaklah mereka melakukan ketaatan sebagai bekal di hari kemudian dan tidak pula mengisi dengan kegiatan positif yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia. Seolah keadaannya mengatakan bahwa hidup hanyalah di dunia ini saja. Tiada yang terbayang di benaknya kecuali terpenuhi syahwat dan nafsunya. Orang yang seperti ini tidak jauh dari binatang bahkan lebih jelek keadaannya. Nabi n bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“(Ada) dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu padanya, (yaitu nikmat) sehat dan senggang.” (HR. Al-Bukhari dan At-Tirmidzi, lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2304)
Sesungguhnya Nabi kita n telah mengajarkan untuk serius dalam memanfaatkan kesempatan sebelum datangnya penghalang. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, bahwa Nabi n mengatakan kepada seseorang dengan menasihatinya:
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum sakitmu, masa senggangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum tuamu, dan masa kaya/kecukupanmu sebelum fakirmu.” (HR. Al-Hakim dan selainnya. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 1077)
Al-Munawi t berkata: “Lakukanlah lima perkara sebelum mendapatkan lima perkara. “Hidupmu sebelum matimu” yakni pergunakan (hidupmu pada) apa yang akan memberi manfaat setelah matimu, karena orang yang mati telah terputus amalannya, pupus harapannya, datang penyesalannya serta beruntun kesedihannya. Maka gadaikanlah dirimu untuk kebaikanmu. “Dan masa sehatmu sebelum sakitmu” yakni gunakan masa sehat untuk beramal, karena terkadang datang penghalang seperti sakit sehingga kamu mendatangi akhirat tanpa bekal. “Dan masa senggangmu sebelum masa sibukmu” yakni manfaatkan (kesempatan) senggangmu di dunia ini sebelum tersibukkan dengan kedahsyatan hari kiamat yang awal persinggahannya adalah kubur. Manfaatkanlah kesempatan yang diberikan, semoga kamu selamat dari adzab dan kehinaan. “Dan masa mudamu sebelum tuamu”, yakni lakukan ketaatan di saat kamu mampu sebelum kelemahan usia lanjut menghinggapimu, sehingga kamu akan menyesali apa yang telah kamu sia-siakan dari kewajiban terhadap Allah l. “Dan masa kayamu sebelum fakirmu” yakni manfaatkan untuk bersedekah dengan kelebihan hartamu sebelum dipaparkan kepada musibah yang menjadikanmu fakir, (jika demikian) kamu akan fakir di dunia dan akhirat. Kelima hal ini tidak diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak ada.” (Faidhul Qadir, 2/21)
Telah Datang Peringatan
Terkadang telah datang kepada seseorang peringatan dari tubuhnya sendiri. Suatu hal yang menjadi cambuk supaya menyadari akan keadaannya. Sungguh uban yang meliputi kepala, kulit yang mulai keriput dan kekuatan yang mulai melemah merupakan peringatan bahwa ajal telah dekat. Allah l berfirman:
“Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (Fathir: 37)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan firman Allah l di atas: “Dan telah datang kepada kamu peringatan” yakni: uban.
Demikian pula jika Allah l telah memberi umur kepada seseorang hingga 60 tahun, berarti Allah l tidak meninggalkan lagi sebab untuk seorang memiliki alasan. Kesempatan telah Allah l berikan dan umur telah dipanjangkan. Nabi n bersabda:
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أُخِّرَ أَجَلُهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّيْنَ سَنَةً
“Allah telah menyampaikan puncak dalam pemberian udzur/alasan kepada seorang yang diakhirkan ajalnya hingga mencapai umur 60 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 6419)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa tidak lagi tersisa alasan baginya, seperti dengan mengatakan: “Kalau dipanjangkan ajalku, niscaya aku akan melakukan apa yang aku diperintah dengannya.” Dijadikannya umur 60 tahun sebagai batas udzur seseorang, karena itu adalah umur yang mendekati ajal dan umur (yang seharusnya) seorang itu kembali kepada Allah l, khusyu’ dan mewaspadai datangnya kematian. Seorang yang berumur lebih dari 60 tahun hendaklah menekuni amalan-amalan akhirat secara total, karena sudah tidak mungkin lagi akan kembali kepada keadaannya yang pertama ketika masih kuat dan semangat. (Lihat Fathul Bari, 11/240)
Umur Umat Ini
Allah l telah menakdirkan bahwa umur umat ini tidak sepanjang umur umat terdahulu. Yang demikian mengandung hikmah yang terkadang tidak diketahui oleh hamba. Nabi n bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah z:
أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ
“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (Dihasankan sanadnya oleh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari, 11/240)
Maksud dari hadits ini adalah bahwa keumuman ajal umat ini antara umur 60 hingga 70 tahun, dengan bukti keadaan yang bisa disaksikan. Di mana di antara umat ini ada yang (mati) sebelum mencapai umur 60 tahun. Ini termasuk dari rahmat Allah l dan kasih sayang-Nya supaya umat ini tidak terlibat dengan kehidupan dunia kecuali sebentar. Karena umur, badan dan rizki umat-umat terdahulu lebih besar sekian kali lipat dibandingkan umat ini. Dahulu ada yang diberi umur hingga seribu tahun, panjang tubuhnya mencapai lebih dari 80 hasta atau kurang. Satu biji gandum besarnya seperti pinggang sapi. Satu delima diangkat oleh sepuluh orang. Mereka mengambil dari kehidupan dunia sesuai dengan jasad dan umur mereka, sehingga mereka sombong dan berpaling dari Allah l. Dan manusia pun terus mengalami penurunan bentuk fisik, rizki, dan ajal. Sehingga menjadilah umat ini sebagai yang terakhir, yang mengambil rizki sedikit, dengan badan yang lemah dan pada masa yang pendek, supaya mereka tidak menyombongkan diri. Ini termasuk dari kasih sayang Allah l terhadap mereka. Demikian makna ucapan Al-Imam Ath-Thibi t seperti dalam Faidhul Qadir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir (2/15).
Orang yang Paling Baik
Manusia terbaik adalah yang mengisi waktu-waktunya dengan amalan yang mengantarkan kepada kebaikan dunia dan akhiratnya. Nabi n bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ، وَشَرُّ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalannya. Dan sejelek-jelek manusia adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Bakrah z, lihat Shahih Al-Jami’ no. 3297)
Orang yang banyak kebaikannya, setiap kali dipanjangkan umurnya maka akan banyak pahalanya dan dilipatgandakan derajatnya. Maka bertambahnya umur akan bertambah pula pahala dan amalannya.
Dahulu ada dua orang datang kepada Nabi n dan sama-sama masuk Islam. Salah satunya lebih semangat beramal dibandingkan temannya. Orang yang lebih semangat itu ikut dalam pertempuran dan terbunuh. Temannya yang satu masih hidup setahun setelahnya, lalu meninggal di atas ranjangnya. Maka ada seorang sahabat bernama Thalhah bin ‘Ubaidillah z bermimpi tentang dua orang tersebut. Dalam mimpinya, keduanya ada di pintu surga. Lalu orang yang matinya di atas ranjangnya dipersilakan untuk masuk surga terlebih dahulu. Setelah itu temannya yang terbunuh dipersilakan masuk. Paginya, Thalhah bercerita kepada orang-orang dan mereka takjub (heran) dengannya. Berita mimpi Thalhah dan takjubnya manusia pun sampai kepada Nabi n. Maka Nabi n mengatakan: “Bukankah (orang yang mati di ranjangnya) ia masih hidup setahun setelah (kematian temannya yang terbunuh di jalan Allah) itu?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah n bertanya lagi: “Dan ia mendapati bulan Ramadhan lalu ia puasa dan shalat sekian dan sekian dalam setahun?” Sahabat menjawab: “Benar.” Rasulullah n bersabda: “Jarak (derajat) antara keduanya lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi.” (Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3185)
Karena mahalnya umur seorang mukmin, maka dahulu ada seorang salaf mengatakan: “Sungguh, satu jam kamu hidup padanya yang kamu beristighfar kepada Allah l lebih baik daripada kamu mati selama setahun.”
Dan dahulu ada seorang salaf yang sudah tua ditanya: “Apakah kamu ingin mati?” Jawabnya: “Tidak. Karena masa muda dan kejahatannya telah berlalu, dan kini datang masa tua bersama kebaikannya. Jika aku berdiri aku mengucapkan bismillah, jika aku duduk aku mengucapkan alhamdulillah. Aku ingin untuk terus dalam keadaan seperti ini.”
Dan ada (pula) seorang salaf lain yang sudah tua ditanya: “Apa yang masih tersisa dari keinginanmu dalam kehidupan ini?” Ia menjawab: “Menangisi dosa-dosa yang telah aku lakukan.”
Oleh karena itu, banyak dari salaf kita yang menangis ketika mau meninggal. Bukan karena berpisah dengan kenikmatan dunia, namun karena terputus dari amalan-amalan yang biasa dia lakukan berupa shalat malam, puasa, tilawatul Qur`an dan lainnya. Hal ini seperti yang dialami oleh Yazid bin Aban Ar-Raqqasyi t. (Lihat syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib –karya Ibnu Rajab t hal. 25-26)
Larangan Meminta Kematian
Tidak seyogianya seseorang meminta kematian tanpa ada sebab yang dibenarkan. Di antara sebab yang dibenarkan adalah ketika seorang yakin jika agamanya akan terfitnah dan adanya indikasi yang kuat bahwa cobaan yang dihadapinya akan menjadikannya menyimpang dari agama Allah l. Dalam kondisi seperti ini, perut bumi lebih baik daripada atasnya. Namun orang yang tidak memiliki alasan yang dibenarkan, seperti seseorang yang ditimpa penyakit dan sudah berobat tapi tidak kunjung sembuh atau dililit hutang dan semisalnya, meminta mati dalam keadaan yang seperti ini dilarang. Nabi n bersabda:
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْـمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْـحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah salah seorang dari kalian menginginkan kematian karena penderitaan yang menimpanya. Jika mau tidak mau harus berbuat hendaklah ia mengucapkan: ‘Wahai Allah, hidupkanlah aku jika memang hidup lebih baik bagiku. Dan wafatkanlah aku jika kematian lebih baik bagiku.” (HR. Al-Bukhari no. 5671)
Seorang mukmin selalu meminta yang terbaik kepada Allah l. Karena seseorang tidak tahu apakah setelah kematian kondisinya lebih baik atau bahkan sebaliknya. Dengan kematian, seseorang sudah terputus dari beramal dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertaubat dan menyesali kesalahan.
Adalah Habib bin ‘Isa Al-Farisi t gusar ketika kematian hendak menjemputnya. Ia mengatakan: “Sungguh aku akan pergi dengan perjalanan yang belum pernah sejauh itu. Aku akan menelusuri jalan yang belum pernah sama sekali aku menelusurinya. Aku akan berkunjung menuju kekasihku (Allah l) yang belum pernah sama sekali aku melihat-Nya. Dan aku akan melihat kedahsyatan yang belum pernah aku saksikan yang seperti itu.” (Syarah hadits Allahumma bi’ilmika al-ghaib- Ibnu Rajab t hal. 32 dan lihat kisahnya pada Hilyatul Aulia`, 6/149-155)
Memohon Dipanjangkan Umur
Panjangnya umur bukan jaminan seorang selamat dari adzab. Lihatlah bagaimana orang Yahudi sangat berambisi untuk diberi umur panjang. Allah l berfirman:
“Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.” (Al-Baqarah: 96)
Adapun seorang mukmin tidaklah bertambah umur kecuali bertambah kebaikan. Oleh karena itu, boleh bagi seseorang untuk mendoakan panjangnya umur. Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi n ketika mendoakan sahabat Anas bin Malik z:
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ حَيَاتَهُ وَاغْفِرْ لَهُ
“Wahai Allah perbanyaklah hartanya, anaknya dan panjanglah hidupnya (umurnya) serta ampuni baginya.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 508)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Dalam hadits ini, (ada faedah) bolehnya mendoakan panjangnya umur bagi seseorang.” (Syarah Shahih Al-Adab Al-Mufrad, 2/311)
Namun seyogianya doa meminta panjang umur dibarengi dengan permohonan kebaikan dengan panjangnya umur itu. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mengucapkan (selamat) panjang umur, karena panjangnya umur terkadang baik dan terkadang jelek. Orang yang jelek adalah yang panjang umurnya namun jelek amalannya. Berdasarkan hal tadi maka tidak mengapa kalau mendoakan: ‘Semoga Allah l panjangkan hidupmu di atas ketaatan kepada Allah l’ dan yang semisalnya.” (Al-Manahi Al-Lafzhiyyah hal. 89)
Para Salaf dalam Melaksanakan Ketaatan dan Menjaga Waktu
Orang yang membuka lembaran kehidupan generasi awal umat ini dalam memanfaatkan umur yang ada akan menganggapnya aneh. Seolah itu adalah dongeng yang tidak ada kenyataannya. Perasaan aneh ini bisa muncul karena sangat jauhnya kita dengan generasi awal umat ini dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Mereka adalah generasi yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Mereka rela berkorban dengan harta, raga dan bahkan nyawa untuk meninggikan agama Allah l. Suatu generasi yang keridhaan Allah l adalah tujuan dan harapannya, meski harus dimurkai manusia.
Maka, mencermati kehidupan ulama dalam menjaga waktu adalah suatu hal yang mestinya diketahui. Karena dengan mengetahui kisah mereka, semangat akan tumbuh dan kemalasan akan terkikis. Allah l telah menjelaskan kondisi hamba-hamba-Nya yang mendapatkan kemuliaan dengan firman-Nya:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka beristighfar (memohon ampun kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18)
Lihatlah bagaimana mereka melewati malam-malam yang indah dengan bergadang untuk melakukan berbagai ketaatan di saat umumnya manusia terlelap dalam tidurnya. Namun sudah seperti itu keadaannya, mereka selalu meminta ampun karena masih banyaknya kekurangan dan kesalahan. Demikianlah orang yang baik, menggabungkan antara semangat beramal dengan perasaan takut akan adzab Allah l. Demikian pula Ibrahim dan Isma’il e tatkala selesai membangun Ka’bah, rumah Allah l yang termulia, di tempat yang paling mulia yaitu Makkah. Keduanya berdoa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا
“Wahai Allah, terimalah dari kami.” (Al-Baqarah: 127)
Berbeda dengan orang yang jelek, mereka menggabungkan antara jeleknya perbuatan dan sikap merasa aman dari adzab Allah l.
Inilah sahabat Abdullah bin Umar c, ketika Abu Hurairah z memberitahukannya tentang hadits Nabi n bahwa orang yang menshalati jenazah akan mendapatkan satu qirath (pahala yang besar) dan barangsiapa yang mengantarnya hingga dikubur akan mendapatkan dua qirath. Abdullah belum pernah mendengar hadits itu, lalu ia mengutus seseorang untuk bertanya kepada ‘Aisyah. Utusan tadi bertanya kepada ‘Aisyah, dan ia menjawab: “Benar apa yang dikatakan Abu Hurairah.” Ketika utusan tadi telah pulang dan mengabarkannya, Abdullah mengatakan dengan ucapan penyesalan: “Sungguh kita telah menyia-nyiakan qirath yang banyak.” (Lihat Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1040, cet. Al-Ma’arif)
Demikianlah, Abdullah bin Umar c sangat menyesal karena telah terlewatkan kesempatan untuk mendapatkan pahala besar. Namun, pernahkah kita menyesali kesempatan emas yang terlewat tanpa kita manfaatkan? Paling yang kita sesali adalah gemerlapnya dunia yang luput kita dapatkan. Sungguh waktu seseorang adalah modal hidupnya.
Dahulu bila seorang ahli hadits mendiktekan hadits kepada murid-muridnya dan ia berhenti sejenak untuk memberi kesempatan muridnya untuk menulis, ia manfaatkan waktu yang sejenak itu untuk beristighfar dan bertasbih.
Dahulu ada yang menyebutkan tentang Al-Imam Abdullah bin Al-Imam Ahmad t: “Tidaklah aku melihatnya kecuali tersenyum atau sedang membaca atau menelaah.”
Al-Imam Adz-Dzahabi t menyebutkan biografi Abdul Wahhab bin Al-Wahhab bin Al-Amin t bahwa waktunya sangat terjaga. Tidaklah berlalu suatu saat kecuali ia sedang membaca, berdzikir, tahajjud, atau setor hafalan. (Lihat Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi karya Abdul Aziz As-Sadhan, hal. 33-37)
Berlindung kepada Allah l dari Ketuaan/ Kepikunan
Semakin lanjut usia seseorang, semakin berkurang kekuatannya dan melemah fisiknya hingga kembali kepada keadaan yang serupa dengan anak kecil dalam hal lemahnya tubuh, sedikit akalnya, dan tidak adanya pengetahuan. Demikian pula munculnya pemandangan yang tidak bagus serta tidak mampu melakukan banyak ketaatan. Cukuplah seseorang berlindung dari kepikunan karena Allah l telah menamakannya dengan umur yang paling rendah/hina dan menjadi tidak tahu apa-apa yang sebelumnya ia tahu. Adalah Nabi n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ
“Wahai Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, pengecut, dan kepikunan.” (HR. Al-Bukhari no. 6367)
Orangtua Berjiwa Muda
Ketahuilah bahwa selagi manusia masih ada harapan hidup maka tidak akan terputus harapannya untuk mendapatkan dunia. Bahkan terkadang dirinya tidak mau mencabut diri dari kelezatan dan syahwat yang maksiat. Setan pun selalu membisikkan untuk mengakhirkan taubat hingga akhir umurnya. Sehingga bila ia telah yakin akan mati dan tidak ada harapan lagi untuk hidup, barulah ia sadar dari mabuknya akan syahwat dunia. Ia pun menyesali penyia-nyiaan umurnya dengan penyesalan yang hampir membunuh dirinya. Ia meminta dikembalikan ke dunia untuk bertaubat dan beramal shalih. Namun permintaannya tidak digubris, sehingga berkumpullah padanya sakaratul maut dan penyesalan atas sesuatu yang telah lewat.
Allah l telah memperingatkan hamba-Nya akan hal ini, supaya mereka bersiap-siap menghadapi kematian dengan bertaubat dan beramal shalih sebelum datangnya. Allah l berfirman:
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ. وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ. أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللهِ وَإِنْ كُنْتُ لَـمِنَ السَّاخِرِينَ
“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.” (Az-Zumar: 54-56) [Lihat Latha`iful Ma’arif, Al-Imam Ibnu Rajab t hal. 449-450]
‘Ali bin Abi Thalib z berkata: “Dunia pergi membelakangi, sedangkan akhirat datang menyambut, dan bagi masing-masingnya ada anak-anak (pecinta)nya. Maka jadilah kalian termasuk ahli akhirat dan jangan menjadi ahli dunia. Hari ini (kehidupan dunia) adalah tempat beramal bukan hisab, dan besok (kiamat) hanya ada hisab, tidak ada amal.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq Bab Fil Amal Wa Thulihi)
Nabi n bersabda:
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيْرِ شَابًّا فِي اثْنَتَيْنِ: فِي حُبِّ الدُّنْيَا وَطُولِ الْأَمَلِ
“Orang yang sudah tua senantiasa berhati muda pada dua perkara: dalam cinta dunia dan panjangnya angan-angan (yakni panjangnya umur).” (HR. Al-Bukhari no. 6420)
Wallahu a’lam.