Sabtu, 14 April 2012

Seputar Perawatan Medis dan Penyakit Kronis


Fatwa Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami
Seputar Perawatan Medis dan Penyakit Kronis
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi Rabbil alamin, shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada sayyid kita Muhammad sebagai penutup para nabi, juga kepada seluruh keluarga dan sahabat beliau.





Keputusan No. 69/5/7
Mengenai Perawatan Medis
Pertemuan Majma’ Al-Fiqhi Al-Islami yang diadakan pada sesi konferensi ketujuh di Jeddah Kerajaan Saudi Arabiah, dari tanggal 7 – 12 Dzul Qa’dah 1412 H atau yang bertepatan dengan tanggal 9 – 14 Mei 1992 M. Setelah majelis meneliti pembahasan-pembahasan yang ditujukan kepada Al-Majma’, terkhusus pada masalah perawatan medis. Dan setelah majelis mendengarkan diskusi yang berlangsung seputar itu, maka majelis menetapkan:
Pertama: Pengobatan
Hukum asal dari berobat adalah disyariatkan, berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal itu dalam Al-Qur`an Al-Karim dan As-Sunnah baik berupa sunnah qauliah (ucapan) maupun fi’liah (perbuatan). Dan karena berobat merupakan penjagaan terhadap nyawa, dimana nyawa ini merupakan salah satu dari tujuan-tujuan yang tertinggi dalam syariat. Kemudian, hukum berobat itu berbeda-beda tergantung dengan keadaan dan orangnya:
•    Berobat diwajibkan atas seseorang dalam keadaan jika dia tidak berobat maka itu akan menyebabkan dia kehilangan nyawanya atau kehilangan salah satu anggota tubuhnya atau melemahnya fungsi dari salah satu anggota tubuhnya. Atau jika penyakitnya merupakan penyakit yang bahayanya bisa berpindah kepada selainnya, seperti pada penyakit-penyakit menular.
•    Berobat disunnahkan dalam keadaan jika dia tidak berobat maka akan menyebabkan tubuhnya melemah, tapi tidak menyebabkan bahaya yang tersebut di atas pada keadaan yang pertama.
•    Berobat dibolehkan jika keadaannya tidak termasuk dalam kedua keadaan di atas.
•    Berobat dimakruhkan jika metode pengobatannya dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit yang lebih besar daripada penyakit yang akan disembuhkan.
Kedua: Perawatan Penyakit-Penyakit Yang Tidak Bisa Disembuhkan.
A.    Di antara aqidah seorang muslim adalah bahwa sakit dan kesembuhan itu hanya di tangan Allah Azza wa Jalla. Bahwa pengobatan dan perawatan hanyalah perbuatan menempuh sebuah sebab yang Allah Ta’ala telah persiapkan di alam ini. Dan bahwa seseorang tidak boleh berputus asa dari pertolongan dan rahmat Allah, bahkan sepatutnya seseorang itu tetap mengharapkan kesembuhan dengan izin Allah.
Wajib atas para dokter dan perawat untuk menguatkan moral si pasien, tekun dalam merawatnya, serta meringankan rasa sakitnya baik yang bersifat psikologis maupun yang bersifat fisik, tanpa memperhatikan apakah dia masih ada kemungkinan sembuh ataukah tidak.
B.    Kasus penyakit yang dianggap sudah tidak bisa lagi disembuhkan adalah sesuai dengan perkiraan para dokter dan potensi prediksi kedokteran pada setiap zaman dan tempat, dan juga tergantung pada kondisi pasien.
Ketiga: Izin Pasien.
A.    Disyaratkan adanya izin pasien untuk perawatan jika si pasien sudah layak mengatur dirinya sendiri. Adapun jika belum layak, maka dibutuhkan izin dari walinya berdasarkan urutan perwalian syar’i dan itu pun sesuai dengan hukum-hukum perwalian yang membatasi wali hanya boleh mengizinkan sesuatu yang merupakan manfaat dan maslahat bagi yang orang dia walikan atau merupakan tindakan menghilangkan mudharat dari dirinya. Karenanya, perbuatan wali untuk tidak mengizinkan perawatan tidaklah teranggap jika hal tersebut jelas mendatangkan mudharat bagi orang yang dia walikan. Hak perwalian setelah itu berpindah kepada wali setelahnya dan seterusnya berakhir ke wali hakim.
B.    Pada kasus-kasus tertentu, pemerintah punya hak untuk mengharuskan pasien melakukan pengobatan, seperti pada penyakit-penyakit menular dan imunisasi.
C.    Dalam kondisi kritis dimana nyawa pasien dalam keadaan terancam, tidak dibutuhkan adanya izin untuk perawatan.
D.    Prosedur penelitian medis harus mendapatkan persetujuan dari orang yang sudah layak mengatur dirinya sendiri, dan bukan dalam keadaan terpaksa (seperti para tahanan penjara) atau bujukan materi (seperti orang-orang miskin). Kemudian, prosedur penelitian tersebut tidak boleh menimbulkan mudarat bagi orang tersebut. Tidak boleh melakukan prosedur penelitian pada seseorang yang tidak bisa atau kurang bisa mengatur dirinya sendiri, walaupun sudah ada izin dari para walinya.
Wallahu A’lam.
[Diterjemah dari Jami' Al-Fatawa Ath-Thibbiah hal. 15-16]